Kami datang terlalu siang. Sudah pukul 09.00 WIB setiba kami di tempat parkir. Tim dari Pasar Papringan segera mengondisikan begitu kami datang. Kami dibagi menjadi grup kecil sesuai kapasitas mobil Kijang untuk diantar masuk ke dalam pasar.
Pasar Papringan masih sekitar dua kilometer lagi dari tempat kami berhenti. Di tempat parkir ini, aku hanya melihat kendaraan berlalu lalang. Ada yang masuk, ada juga yang keluar. Ramai sekali. Entah bagaimana di dalam. Sempat terpikir untuk berjalan kaki. Tapi teman-teman yang kuajak berjalan mengurungkan niat. Takutnya malah dicari oleh panitia, katanya. Ada benarnya. Aku kemudian memilih menunggu.

Ada kiranya kami satu jam menunggu. Bukan karena panitia tak sigap menjemput kami, tapi karena memang kondisi di sana sangat ramai. Super ramai. Antrean mobil yang masuk dan keluar sama banyaknya. Tak habis-habis rasanya. Padahal jalan untuk menuju ke dalam desa tidak cukup lebar. Hanya cukup untuk dua mobil bersimpangan. Terkadang salah satu harus mengalah untuk menepi hingga hampir masuk ke sawah. Mobil kami pun tak lancar berjalan dan beberapa kali harus berhenti.
Baca juga: Menjajal Mewahnya Jayakarta Premium
Aku, Mas Ardian, Mas Aji, Mas Charis, Mas Dimas, Kak Wira tiba tempat parkir bagian dalam. Kalau tempat parkir luar tadi diperuntukkan bagi bus-bus ukuran kecil, di dalam sini terdapat area parkir untuk mobil dan motor. Aku tak melihat ada tempat parkir untuk naga dan elang. Semoga kali lain penyelenggara mempertimbangkan.


Di Pasar Papringan, mata uang Rupiah – mata uang kebanggaan Indonesia tidak berlaku. Lucu ya? Rupanya di Indonesia sendiri, mata uangnya tidak diakui. Pengunjung harus menukarkan uang rupiahnya menjadi keping-keping pring, mata uang yang berlaku di Pasar Papringan. Satu Pring setara dengan uang dua ribu rupiah. Yah, mirip seperti di Timezone. Eh kapan ya aku terakhir main ke Timezone? Sepertinya sudah lama. Kapan-kapan main ke Timezone ah.
Kami ditraktir oleh Kak Wira yang telah menukarkan selembar uang kertas berwarna biru. Keping pring tadi dibagi-bagi. Aku mendapat sekitar lima keping pring. Niatnya ingin menukar yang berwarna merah, tapi penyelenggara menolak dengan alasan keping pring sudah habis. Wow!

Sumpah! Super ramai!
Begitu aku menginjakkan kaki ke dalam pasar hanya itu yang bisa kutangkap dari pasar ini. Ramai. Pasar sekarang tak lagi didominasi oleh ibu-ibu, tapi juga anak muda. Tak lagi diisi emak-emak berbaju santai, tapi mbak-mbak berbaju necis. Penjualnya pun semua memakai batik. Keren!
Baca juga: Berkunjung ke Desa Benowo Purworejo

Pasar Papringan berada di area yang aku kenal sebagai barongan. Barongan adalah semacam kompleks hutan bambu yang biasanya ada di ujung desa. Normalnya, anak-anak kecil dilarang untuk ke barongan karena angker. Ada penunggunya, kata orang tua kami dulu. Apalagi, barongan itu biasanya berdekatan dengan makam desa. Semakin menambah kesan angker. Tapi di Papringan, semua pandangan seram dan angker itu hilang berganti bahagia dan senang. Tidak ada lagi rasa takut bermain di sini. Padahal Pasar Papringan pun berdekatan dengan makam, lho.
Di dalam pasar lebih banyak menjual makanan-makanan tradisional. Mulai dari geblek, sate gamblong, hingga makanan berat seperti lontong mangut dan sebagainya. Saranku, datang sejak pagi dalam kondisi perut kosong. Dan pulanglah dari Pasar Papringan dengan perut yang penuh terisi. Coba semua makanan dari yang manis seperti cenil hingga pedas ala rujak. Harga untuk masing-masing makanan berbeda, rata-rata hanya satu keping pring. Murah.

Setelah memakan lontong mangut yang hampir kehabisan, aku dan Kak Wira beralih menuju stand jamu. Aku memilih beras kencur. Tanpa es sedikitpun, beras kencurnya tetap dingin dan menyegarkan. Di sini kami bersebelahan dengan pasangan yang datang dari Temanggung. Jarak yang nggak begitu jauh dari tempat tinggal mereka menjadikan mereka sudah beberapa kali ke sini. Untuk sekadar menikmati suasana pasar yang baru, kata mereka. Di dalam hati, “Alah! Paling juga cuma nyari tempat buat pacaran, Mbak-mas.” Karena enak, aku ingin membungkus beras kencur. Alih-alih mendapat sebungkus plastik beras kencur yang segar, aku malah mendapat sengiran dari ibu penjual sambil berkata, “Di sini nggak boleh pakai barang lain selain bambu atau bahan organik, Mas.”

Hadeeeeehh… Gimana sih, Gallant? *tepuk jidat*
Baiklah, mari tinggalkan pasangan tersebut dan penjual jamu kemudian mencari money changer lain karena rupanya keping pring di tangan sudah habis, padahal stand masih banyak. Kali ini aku menukarkan selembar uang sepuluh ribu rupiah dengan lima keping pring.

Mendapat asupan keping pring baru, mata menjadi kalap setiap melihat makanan yang menarik. Aku membeli cenil lalu ikut mengantre membeli rujak. Di ujung lain pasar juga terdapat wahana untuk bermain air di sungai, tapi aku tak sempat melirik lebih lanjut. Ada juga perpustakaan bagi pengunjung yang ingin menghabiskan jajan sembari membaca. Pengunjung pun diperbolehkan untuk menyumbang buku seperti Teh Vanisa.


Selain makanan, juga ada mainan baling-baling dari bambu. Cara memainkannya sederhana: ada bambu kecil yang disambung ke tali ini kemudian ditarik sehingga baling-balingnya bisa berputar tanpa terlepas dari bambu utamanya. Seru! Meskipun hanya begitu saja, tapi entah kenapa asyik saat memainkannya. Norak sepertinya.
Pasar Papringan tak buka setiap pekan. Hanya saat Minggu Pon dan Wage menurut almanak jawa.
Ke sini lagi yuk, Sayang!
Acara ini dalam rangka Familiarization Trip yang diselenggarakan oleh Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 17-19 November 2017
Dulu tiap 35 hari sekali, kali ini setidaknya 2 minggu sekali. Itu masih aman sih untuk menjaga rumpun bambu dan lainnya. Tapi kalau tiap minggu ada sepertinya akan ada dampaknya untuk tempat tersebut.
Yang jelas kalo tiap minggu jadi kurang dirindukan, Mas 😀
Waiki pasar unik yg mata uangnya pakai bambu/pring.. Kemarin baru ngbrol2 sama temen yg asli orang sana.. Duh, kapan ya bisa kesana, hhh
Lihat di kalender aja, Mbak. Pas Minggu Pon sama Minggu Wage. Hehe~
Pasar-pasar macam ini sepertinya sedang ngehits ya.
Nggak kuat liat makanan2nya mas. Duhh
Iyaa. Tapi pasar ini setauku yang lebih dulu ketimbang yang baru baru itu. Hehe 😀
Beneer makanannya bikin ngecess.
Pertama, aku sukaa tone potonya. Asique. Wkk.
Aku bayangin Pasar Papringan tu sepi syahduu eh ternyata bermobil-mobil yang mengantre terus mbak-mbak yang belanja juga ala ootd an gitu hihi.
Mas, di sana apakah ada yang jualan baju (batik), dll? Atau khusus kulineran?
Ahh thank you, Mbak. Lagi belajar edit edit foto. Hahaha
Sayangnya di sana nggak ada yang jual batik. Paling kuliner sama mainan. Mirip sama Pasar Kangen. 😀
Uwah, suasana baru dan berbeda. Nyenengin bangey kesannya malah kaya pasar2an anak kecil tapi makananya asli hehehe. Papringan malah jadi kaya nama desaku wkwkw :3
Haha sambil bawa anak kecil juga aman lho, Kak. 😀
kalau sha kemaren kloter pertama, jadi paling lama disana sampe muter berkali2 😀
Hahaha. Terus dapet apa aja? 😀
banyak. sampe dibawa bekal buat di bus. Dan pringnya tetep aja masih nyisa. 😀
Pringku masih ada satu. Mau buat kenang-kenangan. Haha
saat uang ditukarkan dengan pring Jadi inget kayak di bandung ada wisata di Lembang yang pembeliannya pakai koin 😀
Eh iya ini aku juga baca di blog orang soal ini. 😀
salah satu keinginan yang belum sempat dilakoni, semoga pengelola mempertimbangkan banyaknya pengunjung biar kekhasannya tidak pudar kan ga asyik kalau terlalu ramai hehehe. kalau ga salah akhir2 ini pasar2 sejenis mulai banyak bermunculan ya di daerah2 lain…
Betul. Pengelola harus kreatif. 😀
Semoga cepet ada kesempatan ke sana, Om 😀
pasarnya unik banget ya Mas, kalo aku kesana kayanya bakalan kalap sama jajanan haha
Hahaha siapin duit yang banyak, Kak! 😀
Wah ini menarik sekali ya, harus ke sana sptnya…….papringan itu artinya pohon bambu ya kalo gak salah…….
Dari kata PRING sih bambu. Hehe 😀
Pasar ini lagi? Yaudah aku melipir. BHAY!
WEs bosen ya mas? Hahaha
me satenya
Mau, Kak? Xixixi~
Papringan ini menarik.
Salah satu cara melestarikan kebudayan Jawa.
Sayangnya diadainnya cuma di hari Minggu. Kalau tiap hari pasti seruu ..
Tapi kalau tiap hari nanti orang jadi bosen, hilang istimewanya 😀
Wkkwkkwkk …
Iya juga,sih..
Biar ngga bosen, mungkin tiap harinya diadain acara kesenian tertentu/berbeda,ya.
Hehehe bisa jadiii.
Tak kira cuma warga sekitaran Temanggung aja yang dateng mas. Lha ternyata malah ada banyak rombongan mobil sama bus gedhe. Rame banget berati? Untuk parkir naga & elang, sepertinya memang tidak ada. Karena dua hewan yang biasa dijadikan kendaraan oleh raja dan ratu di sinetron laga ini, mulai tidak diketahui keberadaannya. Seqian.
Pasar Papringan ngetop banget sekarang. Gak heran lah wisatawan berbondong-bondong datang ke sana. Habis pasarnya memang unik sih. Seperti kembali ke pasar-pasar masa lalu di Jawa
Iya bener tante evi 😀
Bahkan nggak cuma dari daerah sekitar, tapi ada yang dari kota lain. Jaraknya juga nggak deket 😀
Jadi penasaran, jadi kalau mau take away minuman pakai apa bungkusnya, kak?
nggak bisa take away jadinya. harus minum di tempat 😀
Tapi aku maunya take away.. *kasih tatapan memelas*
Huh dasar cowok banyak maunya~
Sudah dengar cerita tentang pasar ini lama, namun belum sempat berkunjung karena memang jaraknya itu. Sempat juga diberi kesempatan untuk berkunjung, tapi ya namanya belum jodoh ya mau gimana lagi, jadinya gak bisa bareng rombongan kalian, ahahha
ahh iya nih 🙁
semoga next bisa bareng lagi mas 😀
paling suka kalo dolan ke pasar2 kayak inii,, banyakk jajan2 yang murahhh hehee
Benaarr. Sama kayak balik ke zaman dulu waktu harga harga jajanan masih murah haha
murah meriah dan bikin kangen hehee. kalau anak skarang mah tongkrongannya di cafe2 kekinian dengan harga minumannya aja 20.000an hahahaa
Iyeees :((
bangus banged nih konsepnya. mengangkat unsur2 tradisional.. jadi pengen kesana bang..
demen nih yg kayak gini2.. ayem rasanya
TUllll
Adem juga karena di bambu bambu gitu sih hahaha
Semoga bisa ke sana sesegera mungkin
Wawww, unik banget yah mata uangnya pake kepingan pring. Hehe lucu juga di negara sendiri mata uang rupiah ngga diakuin. Emang bener kayak timezone. Haha.
Hahaha nah iyess. Tapi kalao timezone kan di mall. Ini di pasar 😀
Unik ya mas, makin keliatan tradisional banget.
Pasti yang mas rindukan jajan pasarnya, iya kan? Hahahha 😋
Kenangan pas di sini juga iya sih, kak. *eh :”)
Kalo dilihat di foto, sepertinya tempatnya sejuk ya
Bangeeett. Semriwing 😀
Menyenangkan ya keliatannya!
Udah bayangin makan jajajan, sambil minum jamu, terus udaranya pasti adem itu byk pohon2. Ah~
iyaaa puas puasin kaaakk 😀
ada beberapa teman yang nulis tentang pasar Papringan ini.
tapi kenapa tulisanmu banyak foto makanannya?
bikin yg baca (termasuk saya) jadi laper haha
semoga saya cepet nyusul bisa ke sana kak 😀
Karenaaaaaaaaaaa
Ya abisnya makanan itu daya tarik utama #halah
haha, makanan itu yg selalu disukai semua umat ya mas 😀
betuuulll~
Wah ini mirip2 dengan Pasar Tahura Lampung deh,
Btw, itu jajanannya kok yaaaaaa….menggiurkan ya
😀
Iyaaa. Kalo nggak salah Tahura itu juga terinspirasi dari Papringan hehehe