Aku tergopoh-gopoh menuju sebuah ruangan. Antrean mengular. Antrean tadi bermuara pada beberapa petugas berpakaian biru dengan motif batik. Sementara petugas masih sangat sibuk dengan mesin, wajah mereka sangat serius dan fokus. Konsentrasi penuh. Tidak ingin melewatkan sedetikpun. Aku mendesak masuk, menuju ke sebuah mesin di salah satu bagian ruangan. Kebalikan, serangkaian mesin ini justru cenderung tidak terlalu ramai. Syukur tidak terlalu ramai, batinku.
Sore itu, Stasiun Yogyakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Stasiun Tugu tumpah ruah oleh mantan penumpang, calon penumpang, pengantar, hingga tukang ojek. Wajar, karena keesokan harinya adalah hari libur. Orang berbondong-bondong untuk meninggalkan Yogyakarta kembali ke kampungnya. Atau justru orang-orang mulai berdatangan untuk berlibur di Yogyakarta. Semua tumpah ruah di stasiun.

Aku sudah mendapatkan tiket. Tiket yang sudah kupesan beberapa hari sebelumnya melalui aplikasi. Pemesanan tiket kereta sekarang memang sudah jauh lebih mudah. Calon penumpang tak perlu lagi berdesakan menuju loket. Namun untuk beberapa kereta memang masih diterapkan sistem penjualan di loket, terutama kereta lokal seperti Prameks (Prambanan Ekspress), Rapih Dhoho-Penataran, dan beberapa kereta lokal di daerah lain. Meski begitu, pemesanan tiket kereta lokal tersebut juga sudah bisa dilayani mulai H-7 keberangkatan. Secara daring. Daring di sini bukan melalui internet, melainkan dapat dibeli di stasiun lain yang menjadi pemberhentian kereta lokal tersebut.
Tiket yang kucetak di mesin cetak tiket mandiri kugenggam erat. Kertasnya tipis dan halus. Sangat rawan hilang. Sama seperti gebetan. Aku mengeluarkan tanda pengenal sebagai salah satu syarat untuk bisa melewati boarding pass di stasiun.

Waktu masih menunjukkan pukul 17.00 WIB, kereta yang akan kutumpangi baru akan sekitar tiga jam lagi. Aku memilih masuk ke dalam stasiun daripada berdesakan di luar. Sayangnya, di dalam stasiun juga sama. Calon-calon penumpang juga banyak sekali. Perpaduan antara penglaju Yogya-Solo dengan Prameks dan penumpang kereta jarak jauh membuat stasiun tampak tak ada tempat duduk yang kosong. Ya memang, mulai menjelang magrib hingga malam nanti Stasiun Yogyakarta (dengan kode YK) akan sangat sibuk dengan lalu lalang kereta. Baik yang berangkat, singgah, hingga yang sekadar lewat. Bukan, bukan seperti dia yang cuma hadir mengisi hari-harimu lalu pergi begitu saja, bukan yang seperti itu.

Menunggu azan magrib berkumandang di tengah hiruk pikuk seperti ini bukan ide bagus. Akupun tak mempunyai bekal yang dapat kusantap untuk berbuka puasa. Sebetulnya, di stasiun sudah banyak sekali gerai-gerai makanan. Mulai dari yang menjual gudeg hingga makanan cepat saji seperti burger. Mulai dari gerai yang dikelola UKM hingga kafe modern seperti Loco Cafe, atau bahkan yang cukup eksklusif: Lounge Anggrek.
Lounge Anggrek sendiri tergolong masih baru, masih kinyis-kinyis. Didekorasi dengan interior yang menarik, dengan kursi dan meja yang modern dipadu dengan atap yang tampak seperti bangunan di jawa. Aku disambut oleh dua orang resepsionis berlawanan jenis kelamin. Mereka tersenyum, akupun salah tingkah dibuatnya. Oh tidak, bukan begitu maksudku. Aku hanya menyambut senyum mereka dan mengutarakan maksudku untuk turut menikmati suasana eksklusif di sana.

“Apakah ada batas waktunya, Mbak?” Aku bertanya sekalian menyodorkan tiket kereta sebagai salah satu syarat untuk dapat masuk.
“Batas waktunya tiga jam, Mas. Selama tiga jam bebas mau melakukan apa saja. Asal tidak aneh-aneh, memandikan kerbau misalnya. He he he.” Salah satu resepsionis menjawab, sementara yang lain melakukan pindai dan mendata sesuai tiket.
Lounge Anggrek akan dibuka mulai pukul 16.00 hingga 10.00. Suasana saat itu tak terlalu ramai, bahkan cenderung kosong. Mungkin karena pengunjung harus merogoh kocek cukup dalam. Lounge Anggrek sendiri tidak terlalu luas, ada tiga buah ruangan tertutup yang salah satunya adalah ruangan khusus merokok.

Di bagian utama, makanan telah disajikan, bebas untuk disantap pengunjung. Mulai dari yang ringan: martabak dan dadar gulung. Makanan berat: nasi putih, sayur, dan lauk berupa ayam. Hingga penutup berupa puding. Semua tampak sangat menggiurkan. Ada juga sup dan ubi rebus bagi yang bosan makan nasi.
Beberapa pengunjung lebih banyak yang duduk-duduk menunggu azan magrib berkumandang sembari membuka telepon selular atau berbincang dengan rekan. Ada juga yang tertidur. Ruangan tidak panas tapi tidak dingin. Sangat nyaman. Aku langsung menuju ke sebuah meja panjang yang menghadap ke arah selatan, ke peron 1, 2, dan 3. Meski dengan meja yang panjang, tenang saja kursi yang disediakan tetap satu untuk satu orang. Aku mengeluarkan telepon seluler dan sebuah buku Javasiesta yang ditulis oleh Kak Indri Juwono. Telepon seluler kuhubungkan dengan wifi, mencoba menguji kecepatan internet. Hasilnya kurang bagus. Sinyal yang ditangkap tertulis “excellent”, tapi untuk membuka Twitter tidak bisa. Pesan masuk Whatsapp juga tertunda. Tipikal internet di tempat-tempat umum.


Aku mematikan fitur wifi dan memilih membuka buku Javasiesta, melanjutkan bacaan yang belum selesai.
Pihak pengelola memberikan informasi bahwa azan magrib telah berkumandang, pengunjung yang menjalankan ibadah puasa dapat berbuka puasa. Aku langsung mengambil segelas jus jeruk, semangkuk bubur, dan jajanan untuk membatalkan puasa. Buburnya memang sudah dingin, tapi masih terasa lembut. Cocok untuk perut yang seharian kosong. Aku menuju ke musala untuk menunaikan ibadah salat magrib. Musalanya kecil, hanya cukup untuk dua orang. Ditambah lagi, jamaah laki-laki dan wanita dipisahkan ke dalam ruangan berbeda.


Mungkin yang kurang adalah lokasi musala dan toilet yang berdekatan dengan tempat penyimpanan alat kebersihan. Alat kebersihan, seperti tongkat pel, saat itu tidak berada di dalam ruangnya. Menurut penilaian pribadi, kondisi seperti itu menjadikan tempat wudu menjadi terasa kurang bersih.
Selepas salat, aku mengambil piring dan sendok, menuju ke tempat makanan dihidangkan. Mengambil secentong nasi, sayur, dan beberapa lauk. Tak lupa juga mengambil gelas kecil untuk diisi dengan air dingin. Aku menuju tempatku tadi dan langsung menyantap tanpa ragu. Rasa makanannya enak. Bagi lidahku, rasanya sudah seperti standar di hotel. Sembari menyantap makanan, aku perhatikan semakin lama pengunjung semakin ramai. Seiring dengan jadwal stasiun yang semakin padat di jam-jam itu.

Suara nyaring announcer dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jawa Krama menjadi alasanku untuk menggerakkan kaki meninggalkan Lounge Anggrek, meninggalkan Stasiun Yogyakarta.
Lounge Anggrek dikelola oleh PT. Kereta Api Pariwisata, anak perusahaan PT. Kereta Api Indonesia. Pengunjung harus mengeluarkan uang Rp65.000,00 (harga promo Rp50.000,00) agar bisa menikmati semua fasilitas yang nyaman. Makanan yang disediakan pun bisa dimakan sepuasnya alias all you can eat. Mahal ya? Beruntung, saat itu aku mendapat voucher dari seorang teman sehingga dapat menikmatinya secara gratis.
waah mewah banget ini lounge anggrek
Iyesss :))
Kertasnya tipis dan halus. Sangat rawan hilang.
Bener nih, tiket kereta tipis bangettr
Tapi efek ke lingkungannya bagus, Kak 😀
Itu memang sengaja nunggu tiga jam mas?
E tapi nggak papa kalau tempat nunggunya begitu 😂 masih promo nggak yaa?
Pas paragraf penutup, eh ternyata dikasih voucher temen 😅😆
Hahaha. Soalnya waktu itu kan pas buka puasa mbak. Hehehe.
Yoii. Kalo nggak gitu mungkin ngemper deh haha
Belum pernah naik kereta (perjalanan jarak jauh/antar kota) dan baru ngeh kalau di stasiun pun ada lounge kayak gitu. Kayak di bandara ya 🙂
Sekarang, kereta sudah dimirip-miripkan sama pesawat, Om.
Semoga ngikuti paperlessnya juga 😀
Iya betul. Dan semoga untuk refundnya juga bisa lebih mudah haha. Aku nunggu 2 bulan buat cairin tiket kereta.
Ahaha. Sebenernya itu juga buat kebaikan penumpang. Teori dari PT KAI, kalo duitnya cepet kembali, calo bisa bebas berkeliaran wkwk
Asyik ya naik kereta sekarang, klo datangnya kepagian bisa mampir dulu ke Lounge Anggrek. Terutama utk yang orang luar kota. Klo warga jogja biasanya memilih langsung balik rumah.. Udah kangen rumah, hihih
waiya bener. bisa dipake sambil nunggu matahari terbit. wkwkwk 😀
Hehehe gebetan juga tipis dan halus, rawan hilang *ngakak guling2* bisa saja.
Btw baru tahu saya ada lounge begini di Stasiun Tugu … hwaaa sudah lama sekali yaaaa … terakhir menginjak stasiun itu tahun 2006-an, dalam kondisi tembok-tembok ada yang retak gara-gara gempa.
waduuuww 2006 saya masih SMP kak 🙁
Psssttt jangan bilang-bilang dirimu masih SMP dooonkkk ntar saya ini ketahuan udah uzur hahahahahahahahaha 😀
Hahahah 😀
65 ribu sih ga terlalu mahal untuk penumpang kelas eksekutif. Apalagi makanannya bisa dinikmati sepuasnya.
Opo maneh entuk voucher gratisan wkwkwkw~
Waaahhh senang ya tinggal di wilayah yang dilalui jalur kereta, bisa sering-sering railtrip. Keren ceritanya dan yang pasti tetep galau…
Hehehe iyaa 😀
Lounge Anggrek-nya mevvah mas, sepi lagi, jadi enak mau ngapa-ngapain.
misal kalo gak mandiin kerbau ya mandiin kambing haha
enak dengan 65rb bisa makan all you can eat.
cukup buat isi perut dan memberikan tenaga untuk perjalanan panjang naik kereta.
terima kasih sudah sharing mas 🙂
betul. mevvah. bergantung mau naik kereta apa sih. kalau naiknya cuma prameks yang seharga 8rb ya rugi besar. wkwkwk
kalau naik kereta 8rb jadi rugi bandar mas, mahalan makannya :'(
wkwkw lha iyaa~
gebetan juga tipis dan halus, rawan hilang, hahaha..
Btw bagus bangat lokasinya, gak bakalan bosan mah menunggu lama juga disni
emang bagus bangeeet. asoy lah. kalo boleh berlama lama mungkin aku ketiduran di situ wkwk
waw keren banget stasiun nya..semoga stasiun yang lain bisa seperti itu
Tapi ya masih kalah kalau sama Gambir, kak. 😀
Baru mau tanya tarifnya masuk ke lounge berapa eh sudah di jawab di bagian akhir. Sebagai #sobatmisqien aku milih ngemper di kursi sambil makan roti maryam aja deh ahahaha.
Hahahahahahahahahahahahahahahahahaha
Mantap mas gallant, jarang ada yang nulis tentang pengalaman nunggu kereta hahaha. Itu makanan nya banyak pilihan mas? Soalnya harga 65rb kalo emang makanan nya banyak pilihan sih masih bisa dibilang murah. Terlebih juga kan bisa nyaman nunggu. Hehe.. Tapi kalo emang nunggu nya cuma 1 jam an kayaknya sayang yah 65rb, kecuali kalo emang niat makan hehe. Btw sayang yah ga bisa bawa kebo, kan mayan kalo bisa sambil mandiin kebo hahaha.
Makanan ringan alias jajanan gitu ada beberapa pilihan. Kalau makan berat cuma satu menu. 😀
mantap bangettt. aku baru tau ada lounge begini. pas baru liat2 gambarnya aja kaget sampe bilang masa sih? mana 65rb bisa all you can eat pula. haduuuh. jadi makin ingin ke jogja.
main sini kaaak 😀
sha waktu ke stasiun tugu, gak ngeh sama lounge ini. letaknya sebelah manakah?
di deket musala di dalam teh 😀
tarifnya lumayan juga..
tapi kalau butuh asupan ransum dn fasilitas lain mending ke longue daripada beli di cafe atau resto dalam stasiun juga habisnya sama bahkan lebih maal.
iya, mbah :((
Hmmmm.. ini pantas dicoba banget. Buat ku sih IDR 65.000 bolehlah untuk tempat tunggu yang nyaman dan bisa nyemil-nyemil selama 3 jam.
Betul juga sih. Daripada berdesakan. Mending sambil nyemil. Apalagi all you can eat 😀
Wahhh keren ya fasilitasnya, semakin bagus juga inovasi dari PT KAI.
Kalau Rp65.000,- bisa makan apa saja sepuasnya, enak, menunya banyak, ditambah lagi fasilitas yang nyaman, sesuai sih. Toh kalau nunggu di kedai lain misal, pasti kocek yang dikeluarkan untuk waktu 3 jam juga beda tipis aja.
Nah iya juga sih 😀
woh..ternyata udah banyak perubahan disini..lama gak berhenti di stasiun YK…adanya bablas Jakarta hahaha
hahaha. iya om. mampir sekali sekali
Baru baca beberapa paragraf, langsung aja ngakak, gara-gara dua kalimat: “Sangat rawan hilang. Sama seperti gebetan.” 😀
Hmmm aku baru tau lho ada lounge macam ini di Stasiun Tugu. Wajar sih, seumur-umur baru dua kali aja aku naik kereta via stasiun satu ini. Itupun udah mepet dengan waktu keberangkatan. Jadi gak sempat eksplor lebih jauh.
Sebenarnya sih harga segitu bisa cukup murah, seandainya makanannya banyak dan fasilitas umum seperti WiFi nya mumpuni. Dijamin lebih nyaman menunggu di lounge daripada di luar.
kalau aku mungkin akan jadi orang yang jarang memanfaatkan fasilitas ini. mungkin ya karena (sementara) tinggal di jogja, jadi ketika naik kereta ya dateng mepet aja. haha
Iya Gallant, betul juga. Sebenarnya sih kalau gak perlu-perlu amat gak usah pakai lounge. Aku juga biasanya pakai lounge karena ada fasilitas dari kantor aja 😀
Baru baca beberapa paragraf aja langsung ngakak, pas sampai di dua kalimat ini: “Sangat rawan hilang. Sama seperti gebetan.” 😀
Aku baru tau kalau di Stasiun Tugu ini ada exc-lounge nya juga. Maklum sih, soalnya seumur-umur baru dua kali aja naik kereta via stasiun ini. Itu pun mepet dengan waktu keberangkatan, jadi gak sempat eksplor jauh-jauh deh.
Hmmm sebenarnya sih harga exc-lounge nya lumayan murah ya. Asal WiFi nya kencang, dan makanannya banyak serta berlimpah hahaha. Penting itu. O iya, plus colokan listrik yang tersebar banyak.
kalau colokan, cukup kok, kak Bart. 😀
Harus. Wajib ini, selain makanan dan WiFi yaaa. Hari gini khan? 😀
oiyaaa sebagai budak konten, internet dan colokan adalah kewajiban wakak
(((BUDAK KONTEN))) Ada aja istilahnya dah … 😀
Tambah keren memang KAI, sampai dibuatkan lounge, serasa sudah mirip bandara sekarang
bener. perubahannya mencolok banget sih
65ribu sebiji eh per orang? Duh kalo bawa anak yo makin mahal. Yowis mending sangu ayan goreng tepung aja kalo gitu 😁
Hahaa. Iya menurutku juga mahal buat sobatmisqin kayak saya. Tapi kalau ngeliat ramainya stasiun tugu, yang jarang ada tempat duduk, bisa jadi alternatif, Kak 😀