Cuaca Surabaya memang sedang luar biasa terik hari itu. Tak tanggung-tanggung, melalui sebuah aplikasi pada telepon pintar milik temanku, Dhita, suhu di Surabaya mencapai 32° dalam skala Celsius. Sepertinya cukup panas untuk dapat mengeringkan cucian dalam setengah hari saja. Setelah aku menuntaskan keinginan untuk mengenang Siola, kami (Aku dan Dhita) sejenak menyusuri Jalan Tunjungan sembari berfoto. Namun karena suhu yang cukup terik, kami memutuskan hanya sampai di depan Hotel Majapahit saja, dan kembali ke tempat parkir, di basement Siola. Dari sana, kami menaiki motor menuju ke Hutan Mangrove, di Wonorejo, Surabaya.

Beberapa jam sebelumnya, aku tiba di Surabaya pada jam tanggung, sekitar pukul 10.30 WIB. Naik bus dari Babat dan turun di Terminal Purabaya, Bungurasih, Sidoarjo. Perlu diketahui, sekarang Terminal Purabaya sudah jauh lebih rapi dan lebih bagus dibanding beberapa tahun ke belakang. Ruang tunggu yang tertata rapi, para awak bus yang juga mau ditertibkan menambah kenyamanan pengunjung. Disediakan pula gerai makanan cepat saji, contohnya Dunkin Donuts. Rambu penanda juga cukup komplit, bahkan disediakan pula photobooth di lantai satu bagi yang ingin berswafoto ria. Mungkin yang bisa menyaingi Terminal Purabaya adalah Terminal Tirtonadi di Solo sejauh yang aku tahu.
Dari terminal, aku dijemput oleh Dhita dan diantar menuju ke Siola.
Waktu semakin beranjak siang. Aku mengajak Dhita untuk pergi dari Siola dan menuju ke tempat lain, yakni Hutan Mangrove di Wonorejo, Surabaya.

“Makan dulu yuk, Mas.” Ajak Dhita yang memang belum sarapan. “Mau makan di mana?” Tanyanya.
Aku hanya mengiyakan dan menyerahkan keputusan tempat makan kepadanya. “Asal harga mahasiswa.” Imbuhku.
Kami sempat berpisah sejenak; dia kembali ke kos untuk mengganti baju sekaligu salat duhur sementara aku ke masjid dekat kosnya untuk menunaikan ibadah salat duhur. Dari sana, kami menuju salah satu tempat makan yang Dhita rekomendasikan. Sayang, di hari itu warung tutup. Kami memutuskan langsung ke Hutan Mangrove Wonorejo. Sempat kutawarkan mampir ke Indomaret untuk membeli roti tapi Dhita menolak. Sudah sore, katanya.

Aku memegang kendali motor, Dhita membonceng di belakang sembari mengarahkan ke mana aku harus menuju. Jalanan Surabaya sudah tidak sepanas tadi. Matahari sudah semakin tergelincir ke arah barat. Angin jalanan cukup membuatku tidak terlalu kepanasan. Jalanan Surabaya yang lebar sungguh menyenangkan. Di beberapa titik mungkin akan macet, khas kota besar.
Hutan mangrove di Wonorejo sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun lalu, tapi baru digarap untuk menjadi sebuah destinasi wisata beberapa waktu belakangan saja. Jangan terkejut juga kalau Surabaya memiliki hutan mangrove. Surabaya adalah kota yang berada di tepi laut. Sudah sepantasnya jika Surabaya memiliki hutan mangrove yang akan sangat bermanfaat.
Kami tiba di pelataran parkir. Suasananya sangat ramai mengingat hari itu adalah hari Minggu, waktu yang tepat untuk sebatas melepas penat, menikmati waktu bersama keluarga atau pasangan. Lokasinya pun masih di pinggiran kota. Tak membutuhkan waktu tempuh yang lama untuk menuju ke sini. Berwisata tak melulu soal jarak yang jauh, terkadang hanya butuh teman yang tepat. Atau meninggalkan batas-batas untuk sekadar melepas penat.

Hutan Mangrove terbagi menjadi dua area. Di area pertama, pengunjung tidak dikenakan biaya sepeserpun. Di sini kami menyusuri jalanan dengan pembatas di tepinya. Ada juga beberapa perahu yang bersandar. Dari beberapa sumber kubaca memang di sini terdapat fasilitas menaiki perahu menyusuri muara. Saat musim kemarau, air tak tampak terlalu tinggi. Hewan-hewan air pun tak nampak. Air keruh berwarna coklat yang didominasi lumpur.
Sekumpulan bapak tampak baru saja selesai memancing ikan dan beranjak pergi.
“Dapat banyak, Pak?” Tanyaku.
“Nggak dapat, Mas. Ini mau pindah ke Benowo.” Ujar salah satu bapak. Kami berpisah selepas aku memotret wajah salah satu bapak. Meski gagal mendapatkan ikan, si bapak tetap bahagia.

Kami lalu menuju sebuah persimpangan untuk menuju area yang lain, melintasi jalanan yang belum selesai. Tampak pula sebuah Excavator yang dibiarkan saja di sebuah kolam luas. Jika aku boleh menyimpulkan, pengelola tampaknya sedang merencanakan perluasan area dengan menambah beberapa wahana lain. Area kedua yang kami kunjungi hanya berjarak seratus meter saja.
Tempat parkir area kedua ini lebih ramai dan teduh dibanding yang pertama. Berjejer pula warung-warung yang menjual makanan dan minuman. Tertata rapi pula tukang becak yang menunggu penumpang, serta tukang parkir yang menata kendaraan.


Di loket, sudah duduk dua hingga tiga orang penjaga. Tertera harga karcis masuk sebesar Rp5.000 per orang. Aku menyodorkan uang sebesar Rp10.000. Penjaga langsung mempersilakan kami masuk. Namun kami masuk setelah menerima karcis yang harus kami minta sebelumnya. Di sebelah loket untuk masuk, ada loket khusus melayani bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana menaiki perahu. Tarifnya Rp25.000 per orang.
Suasana di area berbayar ini justru lebih ramai dari sebelumnya. Tampaknya masyarakat kota Surabaya rela mengeluarkan uang lebih banyak hanya demi bisa menghilangkan penat. Stres ya?

Berbeda dari area sebelumnya, jalan di area ini tidak memiliki pembatas. Seakan sebuah jembatan panjang yang membelah hutan. Di beberapa titik ada pedagang asongan meski sudah terdapat larangan untuk berjualan di dalam hutan, tapi tampaknya aturan ini tidak diacuhkan. Bagi pengunjung, kehadiran mereka dapat membantu jika kehausan mengingat jalan yang sangat panjang dan cuaca yang panas. Namun karena sudah aturan untuk tidak berjualan di dalam, solusi bagi pengunjung adalah dengan membeli minum sebelum loket masuk.


Hutan mangrove merupakan habitat asli bagi beberapa hewan seperti monyet, burung, beberapa ikan, dan udang atau kepiting. Aku hanya bertemu dengan seekor kera saat berada di area parkir. Tampaknya dia sudah cukup akrab dengan kedatangan para pengunjung. Sementara burung-burung, ikan, udang, atau kepiting lebih memilih untuk bersembunyi meski sesekali terdengar cuitan burung.
Jangan kaget, Surabaya adalah kota yang berbatasan langsung dengan laut. Kehadiran hutan Mangrove pada dasarnya sudah ada sejak dahulu sebagai tembok. Hutan Mangrove sangat bermanfaat bagi kota-kota yang berada di tepi laut karena dapat menjadi pelindung terhadap abrasi laut, tsunami, dan menjadi tempat tinggal (dan bertelur) bagi beberapa hewan berukuran kecil seperti ikan-ikan kecil atau udang.
Dan keberadaan hutan Mangrove dimanfaatkan baik oleh Pemkot Surabaya yang bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk menggarap sebagai lahan penelitian dan pariwisata. Kota tetap aman dari ancaman tsunami, wisata tetap berjalan. Kota aman, semua senang.
Kalau di Jakarta adanya hutan mangrove PIK muehehehe. Sama kok panasnya😂
Pantai Indah Kapuk? Waw waw wawwww
Dari sekian banyak wisata hutan mangrove, aku pernah e cuma di Baros, Bantul. Di sana pun belum tertata, cuma sekadar banyak pohon mangrove-nya thok 🙂
yaaa soalnya masih gratis juga.
Setelah membaca yang Wonorejo ini, aku berharap di sini biarlah cuma ada jembatan kayu gini aja. Wes apik, Nggak usah pakai spot-spot selfie bunga-bunga, lope-lope, yang malah bikin semrawut (menurutku).
Kalau tentang kebersihan sampahnya? oke mas?
Di sana sih disediain tempat sampah di beberapa titik. Tapi ya kadang masih ada 1-2 sampah kecil yang ada di tanah rawanya. Kayak sobekan bungkus makanan gitu.
Kalo yang di KulProg itu udah aneh aneh ya? Hahaha.
wah, nambah lagi destinasi wisata yang wajib aku kunjungi kalau ke Surabaya.
hutan Mangrove ternyata banyak manfaatnya ya mas, buat penelitian juga buat wisata.
kalau foto di sana instagramable banget nih, semoga bisa disegerakan ke sana 🙂
terima kasih sudah sharing.
Sama-sama, Kak. Sekalian cobain susur pake perahunyaa 😀
itu 1 perahu muat berapa orang teh mas? 😀
Kalo nggak salah sih 10 orang, Kak 😀
siap! makasih infonya mas 🙂
Apa?? Disini ada monyet??
gak mau kesana ahh..
masih trauma sama hewan yang satu itu saat di Uluwatu dulu
huh!
Hahaha suka jahil ya? Kemarin pas ke sini sih cuma nemu 1 ekor monyet itu aja. Heheh~
Itupun udah jinak. Dideketin diem bae. :V
Dulu pas nyobain jalan ke hutan bakau di Semarang aja udah seneng banget. Nah ini ada jerambah/jembatannya segala, sangat instagramable #eh haha
hahaha yang instagramable kadang nggak disenengi orang lho padahal :p
Saia salfok ke foto dan deskripsi tentang Terminal Purabaya Bungurasih sekarang. Wow, luar biasa perbedaannya dibanding dulu (terakhir ke terminal itu mgkn 7 tahun lalu). Ini keren banget!
Beuuh jelasss. Saya saksi hidupnya berbedaan antara Bungur dulu dan sekarang. Jauh jauh banget.
Kek menemukan harta karun di hiruk pikuknya surabaya haha
Sebenernya ya banyak kok tempat wisata di Surabaya. Surabaya nggak melulu soal mall 😀
hampir 6 tahun belum pernah kesini mas 🙁 itu naik kapalnya gak dikasih pelampung ya?
Kayaknya sih enggak huhuhu.
*lalu inget kejadian kapal di Danau Toba*
Seru juga sepertinya traveling ke hutan mangrove mas.. di medan ada juga wisata mangrovenya.. tapi belum kesampaian kesana.. hhehe
Salam kenal mas..
salam kenal juga bang.
gapapa bang. semoga nanti ada kesempatan main ke hutan mangrove 😀
Seru kayaknya jalan2 ke hutan mangrove ya mas.. di medan juga ada.. tapi belum kesampaian kesana.. hhehe
Salam kenal mas..
Terminal kalo sudah rapi dan tertib, mau travelling kemana saja juga lebih nyaman ya.
Kalo di Jakarta, ada Hutan Mangrove PIK hehe. Tapi, aku belum sempet mampir kesana 😀
Cheers,
Dee – heydeerahma.com
Iyaa bener. Fasilitas publik yang terawat pun jadi bikin pengunjung aman dan nyaman 😀
wuaaa, seru bisa perahuaan. tempatnya asyik buat kencan ya kak 😀
dua hari ini Bandung malah dingggiiiiiiin banget, sampe nusuk2 ke kulit. Padahal belum musim hujan. Baru memasuki kayaknya. Sha malah rindu cuaca hangat 😀
Hahaa kayaknya justru karena musim kemarau jadi dingin banget hehehe.
Keren liputannya. Salam kenal!
salam kenal juga, kak 🙂
terima kasih 🙂
lebih bagusan di mari deh daripada yg ada di bantul..
e iya foto2nya kurang banyak…banyakan narsisnya
Yang lagi duduk itu bukan aku loh ya, Mbah. Hmmm
Waahh.. Kemaren gue kesini nih, tapi sayangnya cuma explore versi gratis nya doang. Pas mau naik kapal ke mangrove yang “bayar” nunggu kapal penuh ampe setengah jam sama sekali ga ada yang mampir. Sedih bener. Gara2 kemaren sepi banget disitu, jadi naik perahu nya kelamaan nunggu akhirnya nyerah trus pulang hahaha.
Ternyata keren yah mangrove yang berbayar. Lebih luas atau sama aja sih kalo dibanding sama yg gratis?
BTW salam kenal yah 😀
Salam kenal kak. Lebih rame yang berbayar, di sana bisa sewa perahunya juga 😀
Kalo yg berbayar juga lebih adem sih. Lebih rimbun. Haha
kalau perahuan di sungai kayak gitu trus dikelilingi hutan2 jadi ingat momen naik perahu di rammang2 heheee
wah ramang ramang. belom pernah nih ke sana 🙁
sayang banget yah belum ke rammang2 nihh
meskipun bertitile hutan.. tidak mungkin mangrove ada di dataran tinggi.. 🙂
yang penting tidak ada ular disitu, hehe
Hahaha iya juga yhaaa 😀
Belum tentu, bisa aja bersembunyi kayaknya haha~
aku cuma dua kali ke hutan mangrove itupun di Jakarta dan Karimun Jawa
aku baru dua kali ke Magrove tapi yag Jakarta ama Karimun Jawa aja dan selalu suka dengan Mangrove
Tempatnya enak ya, Kak Win~
iya seru
haish
dulu pas taun 2013
awal” kawin
ngajak istri ke sini
ndilalah malah kesasar
hhhh
semoga nanti pas pulang ke surabaya bisa mampir ke sini sama anak”
ijin follow ya…
heee? gimana gimanaaaaa??
temenku dulu kayaknya prewed di sini hahaha
hutan mangrove selalu jadi identik bagi kota-kota yang berada di pesisir pantura. begitu juga dengan kota Semarang. di Semarang ada beberapa spot hutan mangrove. Di semarang, tanaman mangrove juga dimanfaatkan untuk pembuatan kain batik.
Oh iyaaa. Pernah tau ada yang famtrip di Semarang terus diajakin ke mangrove sana. Asik emang
wa aku udah pernah ke sini dna pengen lagi
kawasan berbayarnya seru juga sih
bisa liat burung2 bebas berterbangan
Aku juga pengen kak. Nyobain naik perahunyaa~
Waaaa hutan mangrove, enaknya ke sana tuh pagi atau sore sekalian ya.. Biar nggak terik, soalnya aku pernah tuh ke hutan mangrove pas duhur2.. Akhirnya cuma duduk nyari tempat yg teduh.. Hhh
betull asal nggak terlalu sore. soalnya tutup. 🙂
Wuih,, kalo baca post ini rasanya Surabaya adem bener
Padahal aslinya panaaaaas hahaha
Semoga di Hutan Mangrove Purworejo (Hutan Mangrove Demang Gedi), dikemudian hari juga bisa menjadi habitat hewan-hewan seperti di hutan mangrove Surabaya ini. Karena pas kunjungan saya beberapa bulan lalu, di Hutan Mangrove Purworejo belum terlihat monyet, burung, dan kawan-kawannya.
Meskipun 25 ribu per orang, ternyata pengunjung yang tertarik untuk menaiki perahu banyak juga, ya 😀
WOOOWWW. Purworejo sebelah mana mas ada hutan mangrovenyaaaaa
AKu mau ke sanaaaa
Edan, aku udah lama banget nggak ngerasain suhu di atas 30 derajat. Kalo aku sih bakal memilih ngadem di bukit, gunung, atau cafe ber-AC hahaha.
Hahaha. Kalo di Surabaya suhu segitu kayaknya standar. Lha dirimu di Bandung woooo.
Di Jakarta juga ada hutan mangrove pik, ternyata Surabaya juga punya destinasi mangrove yg apik
Sebetulnya Surabaya masih banyak kok tempat wisata yang apik 😀
Di Jakarta ada juga mangove di PIK, ternyata surabaya juga tak mau kalah yaa. Masih ada tempat ngadem selain mall jadinya
Betullll 😀
Aaaakkk jadi kangen Surabayaaaaa dan memang panas 😀
Btw ulasannya keren, komplit, dan foto-fotonya juga cihuy. Saya pernah jalan-jalan naik perahu di labirin mangrove di Cilacap gegara rencana ke Nusa Kambangan tertunda 😀
Weh weh. Saya malah belom nih ke Cilacap :O
Semiga pemanfaatan area bakau untuk wisata tidak berujung merusak keseimbangan ekosistem disana
amin.
waktu itu juga takut karena kalau rame orang kan beberapa hewan otomatis takut ya 🙁
Aku kesini beberapa kali tapi belum coba naik perahu, biaya masuk masih tetap 5000.
Luas banget hutan mangrove ini, banyak tempat buat fotto
banyak yg pacaran juga wqwq