“Selamat sore, untuk kegiatan Walking Tour hari ini pesertanya hanya Mas Gallant saja, apakah masih berminat untuk ikut?”
Begitu kira-kira pesan yang kuterima siang itu. Aku memang sudah berencana untuk mengikuti Walking Tour yang diadakan oleh Eduhostel. Walking Tour ini bertujuan untuk menelusuri Kampung Ngabean.
Kampung Ngabean terletak di dekat Keraton Yogyakarta. Banyak cerita sejarah yang tersimpan di Kampung Ngabean. Dulu, Kampung Ngabean sangat terkenal karena banyak orang-orang kaya yang tinggal di sana.
Yogyakarta sangat macet hari itu mengingat saat itu adalah long weekend, tapi beruntung aku berhasil mencapai hostel sebelum acara dimulai. Perjalanan diawali dari hostel penyelenggara acara.
“Kita nanti jalan kaki saja ya, mas?” Begitu pertanyaan terakhir yang dilontarkan oleh Mbak Wendy, guide yang akan mengantarkanku berjalan menyusuri Kampung Ngabean malam itu.
Perjalanan pun dimulai dengan menuju tempat pertama, Stasiun Ngabean.
Stasiun Ngabean
Selama masa penjajahan, Belanda membangun jalur rel yang menghubungkan antara Bantul, Yogyakarta, dan Semarang dengan tujuan untuk mengangkut tebu yang sangat melimpah di Bantul untuk kemudian dikirim ke Semarang dan diekspor. Karena itulah Stasiun Ngabean termasuk stasiun kereta yang cukup penting pada masa jayanya. Sebagai tempat pemberhentian kereta antara Stasiun Yogyakarta dan Bantul, Stasiun Ngabean juga melayani penumpang kereta yang akan pergi ke Bantul atau ke Semarang.

Mbak Wendi menjelaskan pula bahwa Stasiun Ngabean ini beroperasi mulai tahun 1916-1976 dan selama itulah tebu-tebu dari Bantul diangkut ke Semarang. Sayangnya, pada tahun 1950-an pamor kereta api ini mulai luntur oleh kendaraan bermotor terutama sepeda motor. Harga sepeda motor yang murah, pada saat itu harga sepeda motor Rp 25 sementara harga tiket kereta api adalah Rp 2, menjadi pemicu berkurangnya peminat yang akan pergi naik kereta api. Kemudian pada tahun 1976 Stasiun Ngabean resmi ditutup namun hingga sekarang kita masih bisa melihat sisa-sisa bangunan berupa stasiun, rel, bahkan ada roda kereta juga di sana.
Kampung Notoprajan
“Kampung Notoprajan ini ada Ndalem, Mas. Ndalem itu tempat tinggalnya keturunan keraton. Di Kampung Notoprajan ini dulu pernah tinggal Sultan Hamengkubuwono VI.” Begitu kalimat dari Mbak Wendy ketika kami memasuki tempat ke dua, Kampung Notoprajan. Perjalanan mulai menyusuri gang-gang sempit khas sebuah kampung di kota. Adzan Isya berkumandang ketika kami memasuki kampung ini.
“Ini namanya Ndalem Notoprajan, dulu di sini menjadi tempat berlatih para pasukan Keraton. Kalau sekarang sudah menjadi tempat kegiatan warga,” Mbak Wendy menjelaskan tentang sejarah sebuah bangunan yang cukup megah dan ramai pada malam itu.
Malam itu, Ndalem Notoprajan ramai dengan kegiatan pameran batu akik.
Kampung Suronatan
“Nah, sekarang kita sudah masuk di Kampung Suronatan, Mas. Dulu di sini ada dua belas kyai.” Kalimat ini meluncur dari bibir Mbak Wendy begitu memasuki Kampung Suronatan.
“Dua belas kyai tadi bertugas sebagai penasihat Sultan sebelum membuat sebuah keputusan,” lanjutnya lagi, “Namun sekarang, kedua belas kyai tersebut sudah tidak ada lagi, begitupun dengan penerusnya. Maka dari itu menurut masyarakat Yogyakarta, Sultan yang sekarang terlihat ‘sakit’.”
Kampung Gerjen
Kami keluar dari lorong sebuah gang, menuju sebuah jalan yang cukup lebar. Tampak banyak sekali usaha konveksi rumahan yang terlihat dari papan atau tulisan yang dipasang di depan rumah. Dari penjelasan Mbak Wendy aku tahu bahwa tempat ini bernama Kampung Gerjen.
“Kampung Gerjen memang sudah terkenal sejak dulu sebagai kampung penjahit, Mas. Makanya Mas Gallant nggak usah heran kalau di sini banyak penjahit,” jelas Mbak Wendy.
Dari penjelasan yang disampaikan Mbak Wendy pula aku jadi tahu bahwa Kampung Gerjen ini sudah menjadi kampung penjahit, terutama baju muslim, bahkan sebelum adanya Masjid Gedhe sebagai simbol pusat kegiatan Islam di daerah ini. Hingga sekarang, Kampung Gerjen ini masih aktif sebagai tempat konveksi pakaian.
Langgar K.H. Ahmad Dahlan

Kami kembali masuk ke dalam lorong-lorong kampung yang sangat menyerupai labirin di dasar Piramida di Mesir. Tak berapa lama, kami sampai di sebuah tempat. “Langgar K.H. Ahmad Dahlan” begitulah tulisan yang terpampang pada papan di dinding bangunan tersebut.
Terdapat sebuah bangunan berlantai dua dengan tangga kecil di sisinya. Di depan bangunan tersebut ada dua buah ruangan mirip sebuah ruang kelas di sekolah yang terkunci. Di sisi lain terdapat sebuah rumah yang cukup besar, dengan tiga buah pintu. Di sebelah rumah tersebut, bersebelahan dan menempel, ada sebuah rumah yang lebih kecil dengan lampu yang menyala dari dalam. Mbak Wendy kemudian menuju ke rumah tersebut.
“Nuwun sewu. Bu, badhe ngampil. (Permisi. Bu, mau pinjam)” ucap Mbak Wendy di depan pintu rumah tersebut. Dari dalam, tampak seorang ibu yang keluar sambil membawa kunci, seakan sudah mengerti akan maksud dari perkataan Mbak Wendy tadi.
“Buka dewe yo (Buka sendiri ya),” ujar ibu tersebut sambil menyerahkan kunci.
Mbak Wendy kemudian mengajakku menaiki tangga yang ada di sisi bangunan berlantai dua tersebut. Sampai di atas, dalam keadaan gelap, Mbak Wendy membuka sebuah pintu. Pintu terbuka, Mbak Wendy kemudian melepas sepatunya dan masuk ke dalam. Mbak Wendy meraba dinding, mencari saklar lampu. Dan lampu pun menyala.
Di dalam ruangan tersebut, Mbak Wendy menjelaskan bahwa tempat ini adalah ruangan yang dipakai oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam menyebarkan ilmunya.
K.H. Ahmad Dahlan merupakan pendiri ajaran Muhammadiyah di Indonesia. Beliau lahir pada tanggal 1 Agustus 1868 dan wafat pada tanggal 23 Februari 1912. Terlahir dengan nama Muhammad Darwis, bersama istrinya Nyi Ahmad Dahlan, beliau berdua diangkat sebagai pahlawan nasional.
(sumber)
“Bangunan ini dulunya sebagai tempat untuk sholat. Bangunan ini dulu sempat dirobohkan karena dianggap salah kiblat namun kemudian dibangun kembali menjadi dua lantai. Bagian atas digunakan untuk mengaji warga setempat, sementara bagian bawah menjadi ruang audio visual.” Mbak Wendy menjelaskan.
Di ruang yang cukup kecil ini kami beristirahat sejenak sambil berbincang-bincang tentang sejarah perjuangan K.H. Ahmad Dahlan. Bagaimana perjuangan beliau dalam menyebarkan agama Islam di bawah tekanan Belanda dan Ulama setempat yang menganggap beliau sesat karena ajaran baru yang dibawanya termasuk perbedaan arah kiblat antara ulama setempat dengan beliau. Pada akhirnya, ajaran beliau sempat dianggap sesat. Di lantai ruangan itu terdapat bekas goresan dari K.H. Ahmad Dahlan yang menunjukkan posisi kiblat yang sebenarnya.
“Kalau Mas Gallant lihat ke timur akan terlihat kubah Masjid Gedhe.” Ujar Mbak Wendy sambil menunjuk ke arah jendela. Dari jendela aku bisa melihat kubah Masjid Gedhe yang menjulang tinggi.
Setelah mematikan lampu dan mengunci pintu, Mbak Wendy menungguku di depan rumah yang cukup besar dengan tiga pintu sementara aku masih melihat-lihat sekitar. Tak lama, aku menyusul Mbak Wendy di sana.
Di depan sebuah rumah yang besar dengan tiga pintu, Mbak Wendy berkata, “Ini adalah rumah dari K.H. Ahmad Dahlan. Tahukah Mas Gallant, apa maksud dari tiga pintu ini?”
“Nggak tahu, Mbak. Memang apa maksudnya?” Aku bertanya kembali.
“Ada perbedaan fungsi pada masing-masing pintu. Perbedaannya berdasarkan siapa yang akan masuk. Kalau yang masuk adalah seorang tamu, maka pintu tengah yang dibuka. Kalau penghuni rumah yang akan masuk, maka pintu samping yang akan dibuka. Pintu tengah dimaksudkan sebagai pintu utama untuk memuliakan tamu. Terus kalau diperhatikan rumah-rumah di sini tidak langsung bersentuhan dengan jalan. Hal itu menunjukkan strata penghuni rumah. Semakin tinggi rumah dari jalan, maka semakin kaya penghuninya.” Mbak Wendy menjelaskan sementara aku hanya bisa berkata, “Ohh… begitu.”

“Yuk, Mas. Kita lanjutkan.” Ajak Mbak Wendy.
“Tunggu sebentar Mbak, aku masih belum puas melihat sekitar.” Kataku sambil sedikit berlari kembali melihat bangunan Langgar K.H. Ahmad Dahlan. Setelah puas, aku kemudian menuju ke arah Mbak Wendy untuk melanjutkan tour ini.
Baca juga: Jalan-Jalan di Kampung Halaman : Maharani Zoo Lamongan
Langgar Aisyiyah
Kami berhenti di sebuah bangunan. Dari penjelasan Mbak Wendy, bangunan yang terdapat papan bertuliskan “Langgar Aisyah” ini adalah bangunan yang dulu digunakan oleh Nyi Ahmad Dahlan untuk menyebarkan ajaran Muhammadiyah kepada kaum wanita di sekitar.
Baik Nyi Ahmad Dahlan maupun K.H. Ahmad Dahlan sama-sama bertujuan untuk memajukan pemikiran warga sekitar terutama kaum wanita agar tidak tertindas oleh kejamnya penjajah Belanda dan di Langgar ini selain digunakan untuk beribadah juga sebagai tempat untuk melakukan kajian keputrian.
TK ABA
Kami sempat mampir ke sebuah bangunan sekolah, TK ABA. TK atau taman kanak-kanak adalah tempat sekolah pertama bagi anak untuk memperoleh ilmu dan mempersiapkan diri menuju jenjang Sekolah Dasar. TK ABA ini adalah Taman Kanak-Kanak dibangun juga oleh K.H. Ahmad Dahlan dan menjadi taman kanak-kanak pertama di Indonesia. Tujuan K.H. Ahmad Dahlan membangun taman kanak-kanak ini agar nilai-nilai agama Islam dapat diterima oleh anak sedini mungkin.
Dalam perjalanan menuju taman kanak-kanak ini, Mbak Wendy menjelaskan bahwa di kampung ini dulunya terkenal banyak usaha batik di rumah-rumah namun sayangnya usaha tersebut tidak lagi ditemui di sini. Banyak yang tidak lagi meneruskan tradisi membatiknya meskipun masih ada satu atau dua rumah yang tetap membatik, namun sudah tak seperti dulu lagi.

Di dekat taman kanak-kanak ini terdapat sebuah monumen yang bertuliskan nama-nama pahlawan. “Itu adalah nama-nama warga yang turut berjuang membela tanah air dan gugur,” jelas Mbak Wendy.
Pengulon
“Nah, kalau ini namanya Ndalem Pengulon.” Ujar Mbak Wendy sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan yang sangat mirip pendopo.
“Dulu bangunan ini menjadi Kantor Urusan Agama wilayah Ngabean dan ketika Ibu kota Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, tempat ini jadi kantor kementrian Agama.” Lanjut Mbak Wendy.
“Terus sekarang masih dipakai, Mbak?” Tanyaku.
“Masih. Sampai sekarang masih dipakai. Tapi kalau sekarang hanya dipakai untuk rapat saja. Rapat persiapan acara keagamaan Keraton seperti Sekaten atau Isra’ Mi’raj. Kadang juga digunakan untuk rapat masyarakat sekitar.” Jawab Mbak Wendy.

Masjid Gedhe
Masjid Gedhe Kauman adalah masjid agung yang terdapat di Yogyakarta. Meskipun tidak sebesar masjid agung di kota lain, tapi Masjid Gedhe Kauman ini memegang peranan penting dalam hubungan agama Islam dan Keraton. Banyak kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di sini. Sekaten maupun I’tikaf (berdiam diri di dalam Masjid pada minggu terakhir Bulan Ramadhan) adalah beberapa contohnya.
Di luar gerbang Masjid terdapat area yang cukup luas. Area ini terkadang digunakan sebagai tempat parkir jamaah jika parkir di dalam sudah penuh. Malam ini masjid tak begitu dipenuhi oleh orang. Waktu Sholat Isya’ berjamaah telah usai. Aku menjumpai area yang cukup luas tadi dimanfaatkan oleh beberapa anak kecil yang tinggal untuk bermain sepak bola bersama teman-teman sebayanya.

Rumah Ibu Askiah
Ada yang mengatakan bahwa Ibu Askiah ini adalah salah satu keturunan dari K.H. Ahmad Dahlan. Kami singgah sejenak di rumah Ibu Askiah, sekedar untuk duduk sambil menikmati sajian berupa kolak dan air. Sayang, Ibu Askiah sedang tidak berada di rumah.
Di sini, Mbak Wendy bercerita mengenai geliat pariwisata yang ada di Yogyakarta, bagaimana hotel-hotel tumbuh dengan pesat dan menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan.
“Pariwisata memang sebuah keutuhan yang sangat kompleks dan tidak bisa dipandang dari satu sisi saja.”
Dari rumah Ibu Askiah, kami kembali ke hostel tempat Mbak Wendy bekerja. Dalam perjalanan kami melewati makam Nyi Ahmad Dahlan. Mbak Wendy mengatakan kalau di makam ini sudah tidak lagi dipergunakan jadi tidak akan ada lagi orang meninggal yang dimakamkan di sini.
Perjalanan ini akan menjadi pengalaman yang unik dalam hidupku, selain karena mengunjungi Kampung Ngabean untuk kali pertama, di malam hari, bertepatan dengan hari Sabtu Malam pula, aku juga mengikuti kegiatan ini sendirian saja. Oh salah, berdua dengan Mbak Wendi sang guide yang cantik. Setidaknya kegiatan ini bisa menjadi jawabanku ketika ada pertanyaan “Malam minggu kok nggak ke mana-mana, single ya?”
*tulisan ini sempat diikutkan dalam lomba travel journal pada acara Asian Youth Camping Ground yang diselenggarakan oleh salah satu Perguruan Tinggi di Indonesia namun belum berhasil masuk ke dalam 50 besar*
Ciyee ngedate malem2 sama mbak Wendi niihh 😀
nge-date sih enggak mbak. cuma biar ada alasan aja kalo ditanya malem minggu ke mana haha 😀
Wah asik banget ya jalan2 di kampung Ngabean. Rasanya dah sering banget ke Jogja gak pernah deh kesini. Pake walking tour menarik juga ya. Tapi panas gak sihhh?? hihihi
walking tour dari Edu sih malem kak, jadi adem hehehe.
😀
Akhir pekan kemarin saya sempat lewat saja daerah-daerah yang disebutkan di sini, Mas :hehe. Tapi memang Yogyakarta itu kalau menurut saya masih terjaga sekali tradisi dan klasik bangun-bangunannya. Entah kenapa saya senang sekali melihat bangunan tua yang temboknya tebal-tebal, jendela dan pintunya masih kokoh dengan gaya klasik, terus tulisan-tulisan di dinding yang asalnya dari akhir abad ke-19 itu, masih bisa disaksikan sampai sekarang.
Ah, agaknya nanti saya juga mesti ikut tur ini, nih :hehe. Kemarin tur sendiri jadi akhirnya malah kecapean :haha.
yuk, kalo mau ikutan tour lagi. aku juga mau nih. 😀
Siap! Kapan kita ke Jogja lagi? :laaah :hihi.
hahaha
kayaknya aku sering (padahal cuma sekali) ngelewatin tempat ini deh, tapi nggak ngeh gitu. 😐 mungkin kalo sempet main ke yogya lagi, bakal nyoba tur kayak gini ah.
yuk dicoba yuk 😀
aku juga mau ikutan lagi nih haha
Seru juga kayaknya kalo jalan kaki, biasanya aku menyusuri tiap jalan di sana pakai sepeda 😀
weh udah khatam mas? :O
aku aja baru tau kalo ada acara gini lho. 😀
seru, tapi capek juga sih. mungkin kalo durasinya lebih lama bisa sedikit selow juga sih 😀
Informasi kegiatan Walking Tour ini ngga ada di websitenya eduHostel ya Lan? Aku cek kok ga nemu yah? Emang cuma pas malem doang acaranya?
kata mbaknya, sementara emang cuma malem mas,.
cek ning twitter e wae 😀
hooo ngunu toh Lan, woke woke woke
jogja emang gag ada habisnya 🙂
iyaaa, kayaknya nggak nyampek sebulan ada aja tempat wisata baru hehe
beneeer banget mas..
Jogja emang jempol
mau aku ketemu mbak wendy trus di ceritain ttg perjuangan ahmad dahlan 🙂
yuk om, main ke sini ke jogja. 😀
Tunggu aku di jogja, insya allah segera kesana
yeaayy mau ditraktir dong nih akunya :p
“Pariwisata memang sebuah keutuhan yang sangat kompleks dan tidak bisa dipandang dari satu sisi saja.” <~ setuju banger, sayangnya goverment kita sebagai pengatur belum memaksimalkan law enforcement, jadi ya masih muncul masalah sana sini. Tapi optimis, kedepannya bakal jadi lebih baik 🙂 Eh, aku juga mau dong walking tournya :O
wah, jadi banyak yg pengen ya.
coba aku dibayar sama edu buat promosi *ngarep*
*semoga dibaca sama pihak edu*
😀
hahaa, piyeee? kapan yo ke jogja lagii XD
penasaran ama tournya apalagi berhunungan dengan tokoh2 idola
hehehe yuk mbak ke jogja terus join 😀
boleh
seru juga ya walking tour gini. Kayak diluar2 negeri (padahal belum pernah walking tour diluar) hehe..
astaga mas bob, komenmu masuk spam. maafkan daku :)))
seru bangeett, aku aja ketagihan 😀
termakasih infonya, visit blog dofollow saya juga ya gan 🙂 , Abeje
bagus tuh tempatnya, referensi bisa dicoba pas jalan kesana
Nah kan, mbaknya itu sengaja ngomong kalau cuma Mas Gallant aja yang ikut tur 😛
Saya terkesan sama filosofi tiga pintu di rumah Ahmad Dahlan itu..
nggak cuma di rumah Ahmad Dahlan, tapi hampir semua rumah di sana begitu. nggak ngerti juga siapa yg mengawali 😀
Baru tau ada daerah ini di jogja
yuk kak main ke jogja lagi, 😀
Wisata sejarah memang menyenangkan, ya 🙂
Josefine Yaputri
Content Writer & Editor
PT. Grivy Dotcom
P: +62(0)21 2960 8168
Office 8 Tower, Floor 18A
Jl. Jend Sudirman Kav. 52-53
Jakarta Selatan, 12190, Indonesia
iya bisa sambil belajar 🙂
wah asik banget ini..
jgn lupa mampir ke blog alay aku ya kak di http://www.travellingaddict.com
siap kak
Unik Kampung Ngabeannya. Jadi nambah aja destinasi wisata di Yoyakarta. Kapan ke Jogja mau ah kesana juga 🙂
Ditunggu updatenya kak, mampir ya kesini, siapa tau butuh ide.
siap kak 🙂
Dari Ngabean tinggal 10 menit naik motor ke rumahku, bro. Ehehe. Tapi aku malu nih, aku malah nggak tahu sejarah Ngabean sampai sedalam itu. Fix gue gagal jadi putra kebanggaan Jogjakarta!
Foto-fotonya ditambah dong 🙂
foto fotonya cuma itu mas nugi 🙁
dulu terbatas soalnya nguber buat lomba itu tulisannya wkwkwk.
kapan2 mau ke sini lagi sih heheheh
Selama stay di Jakarta saya juag suka menyusuri kawasan bersejarah dengan ikut walking tour.
Panasnya Jakarta, tak menghentikan langkah mengunjungi tempat ke tempat lainnya. Rasanya tuh kayak kembali ke zaman tempo doeloe
waaa walking tour gitu emang ada sensasi sendiri sih mas 😀
woh, seneng aku sing mambu2 sejarah, (y)
ojo terlalu seneng sing mambu sejarah, zid. move dong *eh
cieee kentjaan cieee ahahaha
hussshh. jadi kapan kita kentjannya? *eh