02 September 2018.
Tengah malam tepat, kereta Pasundan tiba di Stasiun Kiaracondong—Bandung, setelah menempuh perjalanan panjang, kurang lebih sembilan jam dari Lempuyangan—Yogyakarta. Aku melangkah menuju musala untuk menunaikan salat. Secara naluri, aku mengeluarkan ponsel, bermaksud menghubungi seseorang. Namun urung. Aku hanya tersenyum simpul dan memasukkan kembali ponsel ke dalam saku. Karena kini aku tak mungkin dan tak ada guna lagi menghubunginya. Kami telah usai.
******
Aku tidak menyangka bulan Agustus lalu akan muncul badai. Sebuah badai yang mampu membuat gelombang tinggi bak tsunami yang mampu menggulungku ke dalam air.
Kini aku menuju stasiun Bandung menggunakan motor sewaan. Di Stasiun Bandung aku bertemu dengan Havid. Semula kami berencana untuk bepergian menuju Dieng. Namun aku batalkan dan memilih mengalihkannya dengan pergi ke Bandung. Begitu tahu aku pergi ke Bandung, termasuk alasan mengapa aku memilih Bandung, Havidpun ikut. Mungkin dia khawatir aku akan menceburkan diri di Situ Cileunca.
Kami beranjak dari Stasiun Bandung di tengah malam. Tanpa persiapan yang matang, kami mencari tempat makan yang masih buka di tengah malam. Malang, karena tak menemukan informasi yang jelas kami mengambil jalan pintas, restoran siap saji. Bandung di tengah malam tampaknya masih enggan tertidur. Sudut-sudut jalan masih tampak muda-mudinya yang beraktivitas. Seperti tanpa mengenal lelah, mereka menikmati malam untuk menghilangkan kepenatan yang direngkuh selama seminggu.
Baca juga: Candi Plaosan
Sempat mendapat sedikit hadangan dari polisi yang mengadakan razia, tapi semua berjalan lancar. Semua surat terpenuhi. Kami menerobos dinginnya Bandung malam itu. Anehnya kami berdua tidak merasakan Bandung yang terkenal dingin. Apakah hati-hati kami sudah lebih dingin dari udara malam Bandung?
Kami berbelok memasuki Jalan Pangalengan setelah melewati Pasar Banjaran yang ramai pada pukul tiga pagi. Aktivitas jual beli sudah dimulai. Menurut cerita Teh Vanisa, ikan dan sayur segar datang di malam hari. Pembeli tentu mengambil kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan membeli dalam keadaan masih segar, saat dijual kembalipun harga jualnya masih tinggi. Sementara jika akan dikonsumsi sendiri, rasa ikannya masih segar dan menambah kelezatan masakan.
Baca juga: Desa Benowo
Jalan Pangalengan sangat sepi, hanya ada motor kami yang melintas. Sesekali kami bersimpangan dengan kendaraan warga dan sebuah angkot. Aku memilih membuntuti angkot tersebut, setidaknya untuk mendapatkan teman dan tidak merasa sendirian.
Situ Cileunca seakan tanpa penghuni, tak ada siapapun di sana selain kami, bahkan loketpun masih tutup tanpa penjaga. Terdengar sayup-sayup di sisi lain situ ada suara. Tampaknya beberapa orang sedang berkemah. Atau bisa jadi bukan beberapa tapi satu grup besar instansi sedang mengadakan acara. Aku tak mau berandai-andai, toh membayangkan saja tanpa bukti dan tindakan sama saja kosong. Yang didapatkan hanya sakit atau kesenangan semu. Sejenak kami beristirahat di masjid sembari menunggu subuh. Udara dan suhu rupanya tak sedingin yang kubayangkan. Atau setidaknya aku bisa menahan dinginnya udara di sana. Aku bahkan sempat tertidur di teras masjid.
Meski masih dalam keadaan gelap, kami lantas masuk ke area situ. Kali ini tampak seorang bapak yang berumur cukup sepuh sedang menyapu. Melihat kami berboncengan, ia menghampiri. Beliau adalah penjaga loket dan bermaksud menarik tiket masuk.
Situ Cileunca masih sangat-sangat gelap. Mungkin hanya orang-orang aneh seperti kami yang pergi ke sini di pagi buta. Kami memang bisa dibilang aneh, kami jauh-jauh dari Jakarta dan Yogyakarta hanya untuk menikmati kepiluan di tengah udara dingin Situ Cileunca. Setidaknya kami ingin mendinginkan hati dan pikiran di tengah pergolakan batin.
Sebuah perahu tertambat di dermaga situ. Riak-riak air situ tak nampak, cukup tenang. Aku hirup dalam-dalam, udara dingin masuk ke dalam paru-paru. Segar.
Matahari mulai meninggi. Kabut-kabut mulai dihempas oleh cahaya matahari yang hangat, tapi bagi kami tak ada lagi arunika yang syahdu. Arunika itu sudah tertutup oleh kabut-kabut yang menyelimuti hati. Perahu yang tertambat tiba-tiba saja bergerak perlahan, tanpa tujuan mengikuti gerakan air. Begitu pula hidup ini jika tanpa ada arah dan tujuan (dan tentu saja pegangan) bukan?
Semakin siang, kami beranjak pergi. Kami berdua menyadari bahwa hidup harus terus berjalan. Tak peduli dengan segala macam luka. Kami harus memulai kembali apa-apa yang sudah runtuh. Karena bagi kami berdua, sejak saat itu langit senja tak akan pernah lagi sama. Meski begitu kami memilih jalan yang berbeda untuk diri kami masing-masing. Aku lebih memilih untuk terus mengingat kenangan, semakin mengingatnya, semakin tajam. Lalu aku biarkan mereka saling bertabrakan satu sama lain hingga kemudian mereka menjadi tumpul. Bukankah untuk menumpulkan pisau yang tajam adalah dengan membenturkannya pada benda yang keras? Risikonya dengan semakin mengingat kenangan, aku semakin jatuh ke dalam rasa sakit. Namun aku lebih memilih itu, memilih untuk mendatangi dan menghadapi rasa sakit.
Ambyar atiku pas baca “kami telah usai”😭😭😭
Mbok kalian jadian aja mas, sama temen cowokmu itu. Wkwkwk
Selalu syahdu memburu arunika dan swastamita..
Huhuhu aku masih normal eh 🙁
Waa andai “belum selesai” dan pergi sama seseorang itu, fajar sendu dan tulisan mendayu ini akan semakin lengkap dengan foto siluetnya dia :’)
Mas, apa di Situ Cileunca (selain ada yang ngecamp) juga ada semacam yang jualan bubur ayam atau apaa gitu bagi pengunjung?
Yah kalo ada nggak jadi sendu mbak hehehe.
Hmm ada nggak ya? Nggak sempet muter-muter hehe. Ke sana cuma duduk aja sambil ngademin otak (dan hati) 😀
aku pernah pergi seperti ini, disaat hati panas dingin tak tau arah tak tahu siapa yang mau aku ajak. bedanya aku pergi saja sendiri melihat awal sinar mentari biar sadar bahwa akan ada mentari di setiap pagi, tak perlu menyesali yang terjadi.
malah dapet view keren situ ini kala matahari terbit, keemasan keren. utung kamu tak renang di situ untuk mendinginkan hati
waduuwww jeruuu. wkwkwk.
intinya butuh me-time ya, Mas.
hahaha. itu temenku ikut katanya juga biar aku nggak bunuh diri. padahal dia juga sama sama lagi patah hati.
ah dua tahun yang lalu sempet ke sini sama temen kantor
emang cakep situ cileunca
Bangeeet. Kalau saya suka hawanya sih. Dingin dingin pengen ndusel gitu. #halah
Aku tu selalu lemah saat berhadapan dengan telaga tenang macam ini. Antara merasa tenang dan damai, atau justru porak poranda ahahahaha. Pernah sekali subuh-subuh di rawa pening sama fotografer kantor. Saat itu pengen mewek aku, entah rasanya jadi nano-nano.
Hlah hlah hlah.
Aku lemah kalau tempat itu membawaku akan kenangan, Mbak.
Kata kata terakhir, duh berasa ditampar kenyataan.
Hehehe~
Itu nggak tidur ya? Tulis dong yang pas naik kereta
Tidurnya cuma pas balik dari Bandungnya aja. Hahaha. Ekstrem ya.
Ada kok. Tapi sayangnya cuma akan ada didraft. Bukan konsumsi publik. Hehehe
Jadi penasaran sama ikan dan sayurnya (eh salah fokus)
Wah kalau itu silakan langsung main ke Pasar Banjaran, Kak. Asli sudah ramai kok jam tiga pagi. 🙂
Ok bang.. Next kalau ada rejeki, coba Pasar Banjaran.
Kenapa saat kena razia polisi tidak dipotret? kan biar masuk blog gambarnya hehehe
setiap perjalanan mengisahkan cerita, jika saya jalan-jalan lebih seringnya nginap di masjid. Hemat biaya.
Waduh, bagi saya sih itu bukan hal penting. Hehehe.
Lagipula juga sudah pengen sampai di Situ Cileuncanya. 😀
Wah wah belum pernah sih kalau sampai menginap di masjid. Seru sepertinya ya?
Ini pos terkeren hari ini. Membaca ini sejak awal, seperti membaca sebuah karya sastra, bukan hanya sebuah posblog seorang traveler. Penuh makna, terutama paragraf terakhir itu … agak apa ya … menyayat gitu. Ini pos yang syarat rasa. Konektivitas antara paragraf pertama dan terakhir itu, bagi saya, adalah ledakan rasa yang cukup dahsyat.
Btw, di sekitarnya, di deket situ, ada yang jualan arbei sekalian bisa kita petik sendiri kah? Kayaknya saya pernah ke sini tapi masih kudu cari foto-fotonya. Dan ya, foto-foto dari perjalanan ini memukau sangat.
Wah terima kasih sekali atas apresiasinya 🙂
Sayangnya aku nggak ketemu yang kebun arbeinya huhuhu.
Heheheh waktu itu sekeranjang kecil cuma 5K, dan petik sendiri.
Tenggorkanku tercekat, lidahku kelu, kala membaca :
“Karena kini aku tak mungkin dan tak ada guna lagi menghubunginya. Kami telah usai.”
🙁 🙁 🙁 🙁 🙁
MANA FOTONYA MENDUKUNG BANGET LAGI!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! AKU BENCI TULISAN INI!!!!!!!!!!! BHAY!
Nyatanya demikian, Kak. Mohon doanya saja ya. 🙂
Aku nggak sabaran baca tulisannya, terlalu mendayu-dayu hehehehe. Aku terpukau dengan foto-foto jepretanmu. Ah jadi pengen ke Cileunca juga 🙂
Hahahaha.
Suwun, Mas 😉
tulisannya mendayu, enak mengalir mas.. foto nuansa pas subuhnya syaduh sekali
thank you, koh 🙂
Foto2 nya keren mas… apalagi sunsetnya… terbaiklah mas… pokokny kalo aku ke bandung nanti situ cielunci ini ga boleh kulewatkan… hhehe
salam kenal dari medan mas… hhhehe
anu, itu sunrise bang bukan sunset hehehe 😀
salam kenal juga bang 🙂
Oh iya mas.. saking terpananya aku sampe ga atau itu sunrise apa sunset.. 😂
Hahaha
paragraf pembukanya bikin aku kepo hehhe
sunrisenya aja cakep begini ya,
Waduh kepo soal apa nih?
Hehe iya emang cakep kok. Salah satu yang dijadikan rujukan nyunrise kalo ke Bandung sama beberapa artikel. 🙂
sama kalimat “menghubungi seseorang”nya
abisnya puitis banget, aku kayak kebawa suasana kalo lagi baca novel gitu
Waduh. Hahaha. Terima kasih. 😀
Ada kok yang (seharusnya) dihubungi 😀
Sunrisenya keren bener, pengen tahu lambayung senjanya disana kek mana?
Terima kasih, Kak.
Setau saya mungkin kurang ya. Karena dari posisi saya itu menghadap ke arah utara. Jadi bisa dibilang sunsetnya nanti pas di jalan raya.
Tapiiiii, situ cileunca itu luas sekali. Bisa dicoba untuk mencari sisi lain di sebelah timur biar bisa dapet sunset. 🙂
Wahhh syahdu banget, Mas, foto-fotonya. Enak dilihat, rasanya tenaaaannggg banget..
Terima kasih, Mbak 🙂
Duh bahagianya ketemu pemandangan seperti ini. Tapi kenapa tulisannya sedih yach hehehehehe..
Ya karena tidak semua yang bagus itu menyenangkan. Hahaha
Paragraf terakhirnya sarat dengan makna mas. Aku baca berkali-kali agar paham maksudnya. Keren mas..!!!
Duduk manis, dan menikmati hawa pagi situ cileunca memang pilihan terbaik ketika datang ke sini
Betull. Hahaha. Antara sarat makna atau membingungkan ya? 😀
“Kami telah usai.”
Duh, di awal tulisan aja udah galau gini. Kenapa kau tak menghubungiku, kisanak? 😀
Kalo malem bisa makan di Ceu Mar di daerah Braga, nggak jauh dari Stasiun Bandung.
Haha. Waktu itu emang nggak banyak waktunya. 😀
Pemandangannya bagus banget ini disini,
lama ga main2 ke jawa barat, soalnya kelamaan d jogja hehe
kapan2 main ke jogja mas
salam kneal
Lho saya tinggal di Jogja kok, Kak 🙂
Bagus pemandangan alam nya, cocok untuk foto foto ya kak, apalagi foto bareng someone spesial 😁
Harusnya begitu, Kak. 🙂
Suasananya juga sangat mendukung 😀
Fotonya bagus 2, seperti melihat matahari kembarkarena ada bayangan dari air ya…………..
hai, kak. makasih yaa